A. PENDAHULUAN
Sosiologi pendidikan menurut beberapa pakar dan ahli mempunyai pengertian yang sederhana yaitu, ilmu pengetahuan yang mempelajari permasalahan-permasalahan pendidikan dan berusaha untuk mencari pemecahannya berdasarkan pendekatan sosiologis. Dalam bukunya Philip Robinson, sosiologi pendidikan juga didasarkan atas dan mencerminkan landasan teoritis disiplin induknya berubah-ubah. Sosiologi pendidikan yang baik akan mencerminkan tiga aspek, yaitu histories, structural, biografis. Yang oleh Mills diidentifikasikan sebagi bagian yang terpenting dari suatu ilmu sosial yang pantas.
Di tinjau dari sebab lahirnya sosiologi pendidikan ialah adanya perkembangan masyarakat yang sangat cepat sehingga mengakibatkan berbagai kebudayaan, merosotnya peran guru, dan perubahan interaksi antar manusia. Dikarenakan manusia tumbuh dan berkembang bukan disekolah melainkan dimasyarakat.
Dari uraian tersebut diatas dapat diambil rumusan masalah, bagaimana perkembangan sosiologi pendidikan?
Sosiologi pendidikan menurut beberapa pakar dan ahli mempunyai pengertian yang sederhana yaitu, ilmu pengetahuan yang mempelajari permasalahan-permasalahan pendidikan dan berusaha untuk mencari pemecahannya berdasarkan pendekatan sosiologis. Dalam bukunya Philip Robinson, sosiologi pendidikan juga didasarkan atas dan mencerminkan landasan teoritis disiplin induknya berubah-ubah. Sosiologi pendidikan yang baik akan mencerminkan tiga aspek, yaitu histories, structural, biografis. Yang oleh Mills diidentifikasikan sebagi bagian yang terpenting dari suatu ilmu sosial yang pantas.
Di tinjau dari sebab lahirnya sosiologi pendidikan ialah adanya perkembangan masyarakat yang sangat cepat sehingga mengakibatkan berbagai kebudayaan, merosotnya peran guru, dan perubahan interaksi antar manusia. Dikarenakan manusia tumbuh dan berkembang bukan disekolah melainkan dimasyarakat.
Dari uraian tersebut diatas dapat diambil rumusan masalah, bagaimana perkembangan sosiologi pendidikan?
B. PEMBAHASAN
Sebagai ahli pendidikan, John Dewey (1859-1952) termasuk tokoh pertama yang memandang begitu essensialnya hubungan antra lembaga pendidikan dan masyarakat. Menurut hasil pengamatan Dewey, terlihat nyata adanya perubahan struktur masyarakat dari bentuk semula yang masih beersahaja. Dalam arus perubahan yang begitu nyata tersebut, John Dewey melihat betapa kecil, dan bahkan tidak ada sama sekali “peranan penyiapan” anak diddik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan supaya mereka (anak didik) bisa menyadari “masyarakat baru” yang sedang tumbuh disekitarnya.
Dalam hubungan ini, Dewey melukiskan kehidupan anak-anak kota yang yang tampak “acuh”dan “buta” terhadap produk-produk yang keberadaannya dimanfaatkannya sehari-hari, seperti pakaian dsb. Produk-produk tersebut mereka tinggal memakainya, tanpa mengenal dan bahkan acuh terhadap bagaimana proses serta “cerita menjadinya” produk-produk tadi, mereka tidak mau lagi menghayati konteks kehidupan sosialnya yang sudah semakin komplek tersebut. Hal yang demikian itu, seharusnya dijembatani oleh lembaga pendidikan.
Atas dasar itu, Dewey bermaksud memperbaikinya, yaitu melalui sekolah percobaaanya di Chicago. Melalui sekolah tersebut Dewey berupaya mengembangkan pengalaman belajar dikelas dan disekolah sebagai suatu bentuk kehidupan yang bisa menumbuhkan semangat sosial, semangat saling membantu dan bergotong royong. Untuk itu beberapa upaya harus dilakukan supaya persekolahan menjadi lebih dekat hubungannya, baik dilingkungan anak-anak maupun lingkungan masyarakat sekitarnya. Bagi John Dewey persekolahan dalam hubungannya dengan masayarakat merupakan cerminan masyarakat disekitarnya dan pebaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Oleh karena itu, sebagaiman halnya Dewey dengan pengembangan teori-teori pendidikannya, hal serupa juga dilakukan Emile Durkhein (1858-1917) memandang pendidikan sebagai suatu “social thing”. Dia mengatakan bahwa, “Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial didalamnya, merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan. Suatu masyarakat bisa bertahan hidup, hanya jika terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai dikalangan para warganya. Keseragaman yang essensial yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut, oleh upaya pendidikan diperkekal dan diperkuat penanamannya semenjak dini dikalangan anak-anak. Tetapi dibalik itu suatu kerjasama apapun tentulah tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman yaitu, upaya pendidikan dijaminnya dengan jalan pengadaan pendidikan yang beraneka ragam baik jenjangnya maupun spesialisasinya.
Bertolak dari pandangannya tentang pendidikan sebagi ikhtiar sosial (social thing), akhirnya menuntun Dhurkeim pada suatu pendapat, bahwa pendidikan itu, bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Dengan demikian masyarakat secara keseluruhan berseta masing-masing lingkungan khususnya, akan menentukan tipe-tipe yang diselenggarakan.
Selama 40 tahun tahun perkembangan sosiologi pendidikan (pada mulanya dinamakan “Educational Sociology dan belakangan ini menjadi “Sociology of Education) memang berjalan lamban, tetapi berlangsung kokoh dan pasti. Sejumlah buku teks bermunculan, seperti “An Introduction to Educational Sociology” (E.G Smith, W.R. Houghton Mifflin, 1917, edisinya revisinya tahun 1929), Fondationas of Educational Sociology” Peters, C.C, Macmillan, N.Y., 1924, edisi revisinya tahun 1930), “The Sociology of Teaching” (Waller,W, J. Willey, NY, 1932, dicetak kembali oleh Russel and Russel tahun 1961) dan masih banyak yang lainnya.
Khususnya diInggris, perkembangan nyata Sosiologi Pendidikan ditandai dan dimulai dengan diangkatnya Sir Fred Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan diLondon (London University Institute Of Education) pada tahun 1937. Clarke sangat menyadari konstribusi yang mungkin dan dapat diberikan oleh Sosiologi kepada pengembangan pemikiran Pendidikan. Terutama Clarke, begitu yakin bahwa pendidikan haruslah direncanakan, dan pada bukunya yang berjudul “ Education and Social Change,” keganasan” Nazi Jerman. Begitu juga, Mannheim menetap dilondon dan menjadi dosen Sosiologi pada Fakultas Ekonomi London. Seperti halnya Dhurkeim, Mannheim juga sangat tertarik pada dunia sosiologi, dan ia memasuki dunia pendidikan sebagai seorang ahli sosiologi. Akibatnya ia melihat pendidikan sebagai salah satu elemen dinamis dalam sosiologi. Merupakan suatu tehnik social, dan alat pengendalian sosial. Dalam hal ini Mannheim mengatakan “Ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan (seperti humanisme,dsb) atau sebagai alat pengalihan spesialisasi teknis, tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia. Pendidikan hanya dapat dipahami ketika kita mengetahui untuk masyarakat apa dan untuk posisi sosial apa sesungguhnya para murid itu dididik.
Selama tahun 1943-1945, Institut Sosiologi di London menyelenggarakan koferensi-konferensi mengenai sosiologi dan pendidikan. Pada konferensi-konferensi dimaksud, Mannheim dan Clarke sama-sama memberikan andil yang berarti. Selama tahun-tahun sisanya decade itu, bermunculan begitu banyak buku-buku pendidikan yang berpijak dan diwarnai sudut tinjauan sosiologis. Pada Tahun 1948, setahun setelah wafatnya Mannheim, Clarke menerbitkan bukunya yang berjudul “ Freedom in the Educative Society.” Pada bukunya itu, secara lebih jauh dikembangkan tema perencanaan pendidikan menuju pembebasan masyarakat dan arah perencanaan itu ia perbandingkan dengan masyarakat pendidikan zaman Plato. Suatu masyarakat Pendidikan (Lembaga Pendidikan), menurut Clarke tujuan pokoknya untuk mencetak corak waraga Negara ke arah yang lebih baik. Untuk itu masyarakat pendidikan perlu secara sadar mengarahkan aktivitas-aktivitasnya, dan mengorganisasikan departemen-departemennya dengan suatu pandangan guna mengembangkan corak dan watak warga negara tadi.
Sebagai hal yang menunjang pertumbuhan sosiologi pendidikan pada tahun-tahun 1960-an terdapat tiga faktor penunjang yang dapat dirinci sebagai berikut: Pertama, sifat pendidikan guru yang mulai berubah-ubah mulai dengan diperkenalkannya program pendidikan tahap pertama selam tiga tahun di college-college pada tahun 1962. Kedua, merangsang perkembangan studi “akademik” pendidikan dan dengan demikian merangsang pula pertumbuhan ilmu-ilmu sosial dasar yang menopangnya, yakni sosiologi, psikologi, filsafat dan sejarah.
Perluasan pendidikan guru merangsang pertumbuhan sosiologi pendidikan yang pada mula memperoleh materinya dari perspektif fungsionalisme teoritis yang dominan. Kegagalan kebijaksanaan pembaharuan tahun-tahun 1960-an, bersamaan dengan semakin meningkatnya permintaan akan sumbangan sosiologi dalam pendidikan guru telah melahirkan suatu pergeseran perspektif dari teori “ketertiban” kearah teori control, suatu pergeseran yang oleh Floed (1978) digambarkan sebagai” digesernya manusia sosiologis yang tidak manusiawi, yang terlalu disosialisasikan dan yang amoral oleh manusia sosiologis yang otonom, kreatif dan mempunyai tanggung jawab moral”.
Pada bukunya Moh. Padil dan Triyo Supriyatno dijelaskan, pada tahun 1950 W.A.C Stewart menulis sebuah artikel penting yang dimuat pada “Sosiological review.” Artikel mengenai filsafat dan sosiologi pada pendidikan guru (judulnya: Philosopy dan sosiologi in the Training of Teachers). Prof. Stewart juga mengemukan tentang masalah mata kuliah guru, yang dulu juga disarankan oleh Mannheim, ada tiga mata kuliah (mata ajaran) untuk dikuliahkan pada lembaga pendidikan guru, diantaranya :
v Sosiologi untuk guru
a) Sifat manusia dan tata sosial
b) Impak kelomok-kelompok sosial terhadap individu
c) Struktur sosial
v Sosiologi Pendidikan
a) Sekolah dan masyarakat
b) Sosiologi pendidikan dalam aspek-aspek historisnya
c) Sekolah dan tata sosial
v Sosiologi mengajar
a) Interpretasi sosiologis terhadap kehidupan sekolah
b) Hubungan guru dan murid
c) Masalah-masalah organisasi sekolah
Sebagai ahli pendidikan, John Dewey (1859-1952) termasuk tokoh pertama yang memandang begitu essensialnya hubungan antra lembaga pendidikan dan masyarakat. Menurut hasil pengamatan Dewey, terlihat nyata adanya perubahan struktur masyarakat dari bentuk semula yang masih beersahaja. Dalam arus perubahan yang begitu nyata tersebut, John Dewey melihat betapa kecil, dan bahkan tidak ada sama sekali “peranan penyiapan” anak diddik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan supaya mereka (anak didik) bisa menyadari “masyarakat baru” yang sedang tumbuh disekitarnya.
Dalam hubungan ini, Dewey melukiskan kehidupan anak-anak kota yang yang tampak “acuh”dan “buta” terhadap produk-produk yang keberadaannya dimanfaatkannya sehari-hari, seperti pakaian dsb. Produk-produk tersebut mereka tinggal memakainya, tanpa mengenal dan bahkan acuh terhadap bagaimana proses serta “cerita menjadinya” produk-produk tadi, mereka tidak mau lagi menghayati konteks kehidupan sosialnya yang sudah semakin komplek tersebut. Hal yang demikian itu, seharusnya dijembatani oleh lembaga pendidikan.
Atas dasar itu, Dewey bermaksud memperbaikinya, yaitu melalui sekolah percobaaanya di Chicago. Melalui sekolah tersebut Dewey berupaya mengembangkan pengalaman belajar dikelas dan disekolah sebagai suatu bentuk kehidupan yang bisa menumbuhkan semangat sosial, semangat saling membantu dan bergotong royong. Untuk itu beberapa upaya harus dilakukan supaya persekolahan menjadi lebih dekat hubungannya, baik dilingkungan anak-anak maupun lingkungan masyarakat sekitarnya. Bagi John Dewey persekolahan dalam hubungannya dengan masayarakat merupakan cerminan masyarakat disekitarnya dan pebaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Oleh karena itu, sebagaiman halnya Dewey dengan pengembangan teori-teori pendidikannya, hal serupa juga dilakukan Emile Durkhein (1858-1917) memandang pendidikan sebagai suatu “social thing”. Dia mengatakan bahwa, “Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial didalamnya, merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan. Suatu masyarakat bisa bertahan hidup, hanya jika terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai dikalangan para warganya. Keseragaman yang essensial yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut, oleh upaya pendidikan diperkekal dan diperkuat penanamannya semenjak dini dikalangan anak-anak. Tetapi dibalik itu suatu kerjasama apapun tentulah tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman yaitu, upaya pendidikan dijaminnya dengan jalan pengadaan pendidikan yang beraneka ragam baik jenjangnya maupun spesialisasinya.
Bertolak dari pandangannya tentang pendidikan sebagi ikhtiar sosial (social thing), akhirnya menuntun Dhurkeim pada suatu pendapat, bahwa pendidikan itu, bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Dengan demikian masyarakat secara keseluruhan berseta masing-masing lingkungan khususnya, akan menentukan tipe-tipe yang diselenggarakan.
Selama 40 tahun tahun perkembangan sosiologi pendidikan (pada mulanya dinamakan “Educational Sociology dan belakangan ini menjadi “Sociology of Education) memang berjalan lamban, tetapi berlangsung kokoh dan pasti. Sejumlah buku teks bermunculan, seperti “An Introduction to Educational Sociology” (E.G Smith, W.R. Houghton Mifflin, 1917, edisinya revisinya tahun 1929), Fondationas of Educational Sociology” Peters, C.C, Macmillan, N.Y., 1924, edisi revisinya tahun 1930), “The Sociology of Teaching” (Waller,W, J. Willey, NY, 1932, dicetak kembali oleh Russel and Russel tahun 1961) dan masih banyak yang lainnya.
Khususnya diInggris, perkembangan nyata Sosiologi Pendidikan ditandai dan dimulai dengan diangkatnya Sir Fred Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan diLondon (London University Institute Of Education) pada tahun 1937. Clarke sangat menyadari konstribusi yang mungkin dan dapat diberikan oleh Sosiologi kepada pengembangan pemikiran Pendidikan. Terutama Clarke, begitu yakin bahwa pendidikan haruslah direncanakan, dan pada bukunya yang berjudul “ Education and Social Change,” keganasan” Nazi Jerman. Begitu juga, Mannheim menetap dilondon dan menjadi dosen Sosiologi pada Fakultas Ekonomi London. Seperti halnya Dhurkeim, Mannheim juga sangat tertarik pada dunia sosiologi, dan ia memasuki dunia pendidikan sebagai seorang ahli sosiologi. Akibatnya ia melihat pendidikan sebagai salah satu elemen dinamis dalam sosiologi. Merupakan suatu tehnik social, dan alat pengendalian sosial. Dalam hal ini Mannheim mengatakan “Ahli sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan (seperti humanisme,dsb) atau sebagai alat pengalihan spesialisasi teknis, tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia. Pendidikan hanya dapat dipahami ketika kita mengetahui untuk masyarakat apa dan untuk posisi sosial apa sesungguhnya para murid itu dididik.
Selama tahun 1943-1945, Institut Sosiologi di London menyelenggarakan koferensi-konferensi mengenai sosiologi dan pendidikan. Pada konferensi-konferensi dimaksud, Mannheim dan Clarke sama-sama memberikan andil yang berarti. Selama tahun-tahun sisanya decade itu, bermunculan begitu banyak buku-buku pendidikan yang berpijak dan diwarnai sudut tinjauan sosiologis. Pada Tahun 1948, setahun setelah wafatnya Mannheim, Clarke menerbitkan bukunya yang berjudul “ Freedom in the Educative Society.” Pada bukunya itu, secara lebih jauh dikembangkan tema perencanaan pendidikan menuju pembebasan masyarakat dan arah perencanaan itu ia perbandingkan dengan masyarakat pendidikan zaman Plato. Suatu masyarakat Pendidikan (Lembaga Pendidikan), menurut Clarke tujuan pokoknya untuk mencetak corak waraga Negara ke arah yang lebih baik. Untuk itu masyarakat pendidikan perlu secara sadar mengarahkan aktivitas-aktivitasnya, dan mengorganisasikan departemen-departemennya dengan suatu pandangan guna mengembangkan corak dan watak warga negara tadi.
Sebagai hal yang menunjang pertumbuhan sosiologi pendidikan pada tahun-tahun 1960-an terdapat tiga faktor penunjang yang dapat dirinci sebagai berikut: Pertama, sifat pendidikan guru yang mulai berubah-ubah mulai dengan diperkenalkannya program pendidikan tahap pertama selam tiga tahun di college-college pada tahun 1962. Kedua, merangsang perkembangan studi “akademik” pendidikan dan dengan demikian merangsang pula pertumbuhan ilmu-ilmu sosial dasar yang menopangnya, yakni sosiologi, psikologi, filsafat dan sejarah.
Perluasan pendidikan guru merangsang pertumbuhan sosiologi pendidikan yang pada mula memperoleh materinya dari perspektif fungsionalisme teoritis yang dominan. Kegagalan kebijaksanaan pembaharuan tahun-tahun 1960-an, bersamaan dengan semakin meningkatnya permintaan akan sumbangan sosiologi dalam pendidikan guru telah melahirkan suatu pergeseran perspektif dari teori “ketertiban” kearah teori control, suatu pergeseran yang oleh Floed (1978) digambarkan sebagai” digesernya manusia sosiologis yang tidak manusiawi, yang terlalu disosialisasikan dan yang amoral oleh manusia sosiologis yang otonom, kreatif dan mempunyai tanggung jawab moral”.
Pada bukunya Moh. Padil dan Triyo Supriyatno dijelaskan, pada tahun 1950 W.A.C Stewart menulis sebuah artikel penting yang dimuat pada “Sosiological review.” Artikel mengenai filsafat dan sosiologi pada pendidikan guru (judulnya: Philosopy dan sosiologi in the Training of Teachers). Prof. Stewart juga mengemukan tentang masalah mata kuliah guru, yang dulu juga disarankan oleh Mannheim, ada tiga mata kuliah (mata ajaran) untuk dikuliahkan pada lembaga pendidikan guru, diantaranya :
v Sosiologi untuk guru
a) Sifat manusia dan tata sosial
b) Impak kelomok-kelompok sosial terhadap individu
c) Struktur sosial
v Sosiologi Pendidikan
a) Sekolah dan masyarakat
b) Sosiologi pendidikan dalam aspek-aspek historisnya
c) Sekolah dan tata sosial
v Sosiologi mengajar
a) Interpretasi sosiologis terhadap kehidupan sekolah
b) Hubungan guru dan murid
c) Masalah-masalah organisasi sekolah
Pada pembahasan mengenai “asal mula dan perkembangan “sosiologi pendidikan, baik Educational sociology maupun Sociology of Education keduany sama-sama digunakan untuk menunjuk kepada disiplin ilmu dalam pembahasan ini. Ketika W.A.C. Stewart menulis artikelnya pada tahun 1950, ia malah menggunakan menjadi tiga istilah yaitu, Sociological Approach to Education, Educational Sociology, dan Sociology of Education. Kemudian pada tahun 1962, ketika Stewart mempublikasikan buah pikiran Mannheim mengenai pandangan pendidikannya. Diberinya judul “ An Introduction to The Sociology of Education. Dalam uraian yang termuat dalam buku tersebut, ternyata silih berganti menggunakan istilah “sociologi of Education” dan A Sociological Approach to Education,” serta tidak menggunkan istilah “ Educational Sociology” sama sekali.
Pada mulanya, memang ada kecenderungan pada Jurusan Pendidikan diberbagai perguruan tinggi menggunakan istilah “Educational Sociology” sedangkan belakangan ini lebih suka menggunakan istilah “Sociology of Education”. Disarankan oleh Prof . W. Taylor untuk tetap menggunakan kedua istilah tersebut, tetapi dengan pengertian yang sedikit berbeda antara satu dan lainnya. Menurut Taylor,”Educational Sociology,” tekanannya terletak pada pertanyaan-pertanyaan kependidikan dan sosial. Sedangkan “Sociology of Education,” tekanannya pada permasalahan-permasalahan sosiologis. Pembedaanya mirip dengan apa yang dinyatakan oleh R.J. Stalcup didalam bukunya” Sociology and Education,” dimana ia juga menggunakan istilah “ The Social Fondations of Education.” Definisi Stalcup mengenai ketiga istilah dimaksud sebagaimana berikut ini:
v Educational Sociology : merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan sosiologi bagi pengadministrasian dan atau proses pendidikan. Pendekatan ini berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosiologi pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial tersendiri.
v Sociology of Education : Merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahannya pada lembaga pendidikan itu sendiri.
v Social Fondations of Education: Merupakan suatu bidang telaahan yang lazimnya mencakup sejarah, filsafat, sosiologi pendidikan, dan pendidikan komparasi. Jelas bidang ini lebih luas baik dari “Sociology of Education” maupun “Educational Sociology.“
Dalam bukunya “Educational Sociology,” G.E, Jensen juga membahas perbedaan antara kedua istilah tadi. Menurut Jensen, problematika yang ditelaah oleh “Educational Sociology” diangkat dari bidang pendidikan. Sedangkan problematikanya “Sociology of Educational” diangkat dari bidang sosiologi. Jensen juga berpendapat, bahwa sosiologi merupakan suatu bidang telaahan praktis, memperhatikan segi-segi sosiologis maupun sosial psikologis yang relevan atau berkaitan secara logis dengan permasalahan-permasalahan pendidikan. Dalam hubungan ini “Sociology of Education,” perhatian utamanya pada upaya menemukan aspek-aspek sosiologis dari fenomena dan institusi pendidikan. Masalah-masalah tersebut dikaji dan dipandangnya sebagai masalah essensial sosiologi, dan bukan merupakan masalah praktis pendidikan.
Perkembangan umumnya sekarang ini, kedua istilah yang diperdebatkan tadi, sama-sama memantapkan adanya satu disiplin ilmu yaitu sosiologi pendidikan itu sendiri. Istilah yang digunakan ialah “sociology of Education”. Sebagaimana dikatakan Dr. Olive Banks: sekarang menjadi lazim untuk menyebutkan “Sociology of Education” daripada memakai terminology lamanya yaitu “Educational Sociology”. Secara keseluruhan, perkembangan tersebut, juga dikarenakan para ahli sosiologi itu sendiri yang sudah mulai menaruh perhatian terhadap dunia pendidikan sebagai suatu garapan telaahannya.
Seterusnya, Dr. Banks menyarankan disiplin ilmu ini sebagi cabang sosiologi dan bukan cabang dari ilmu pendidikan. Masa depan disiplin ilmu ini, menurut para penulis belakangan ini, akan banyak bergantung pada keeratan kerja sama antara ahli sosiologi didalam aktifitas atau penanganan pendidikan, (denagn pengalaman praktis didepan kelas atau pada segi-segi lain penyelenggaraan system pendidikan). Sementara ahli-ahli pendidikan yang tertarik pada pendekatan sosiologis, misalnya diberikan latihan-latihan dasar mengenai disiplin ilmu sosiologi itu sendiri. Hal tersebut pada kenyataannya sudah terjadi. Sebab beberapa dosen dan guru besar sosiologi sudah mulai ikut selaku asisten dalam perkuliahan kependidikan, sementara beberapa ahli pendidikan juga sudah mulai mengembangkan kariernya selaku ahli sosiologi yang berbobot.
Mobilitas professional semacam itu, dan penyuburan silang yang semakin dibutuhkan oleh kedua pihak (ahli sosiologi dan ahli pendidikan) kesemuanya itu untuk kebaikan disiplin sosiologi dan pendidikan itu sendiri. Dalam hubungan ini patut diingat kata-kata Prof. Stewart yaitu “Kalau ada suatu telaahan yang inter-disipliner, maka itulah pendidikan. “Dengan begitu, sosiologi pendidikan bukan lagi “milik pribadi” sosiologi itu sendiri, dan sama pula halnya dengan filsafat pendidikan, atau psikologi pendidikan.
Demikian juga, dalam dunia akademik belakangan ini, memang semakin banyak kita hadapkan pada penelaahan yang inter-disipliner. Begitu muncul pertanyaan mengenai “hak paten” disiplin keilmuwan, berarti kita kembali lagi ke tempat start (melakukan pengepingan-pengepingan baik terhadap ilmu maupun tugas penelitian). Bagi para pemain sepak bola, mungkin pantas menyerahkan bulat-bulat “sosiologi persepakbolaan” kepada ahli-ahli sosiologi. Para pecandu judi, juga sebaiknya mempasrahkan “sosiologi perjudian” kepada ahli-ahli sosiologi itu sendiri. Orang-orang kampong dipedesaan tidak memperdebatkan “hak paten” kewenangan ahli-ahli sosiologi didalam telaahan “sosiologi desa”. Tetapi didalam hal sosiologi pendidikan, sama-sama menjadi perhatian telaahannya, baik oleh ahli pendidikan maupun ahli sosiologi.
Sosiologi pendidikan merupakan suatu disiplin yang menjadi perhatian, baik ahli sosiologi maupun ahli pendidikan, dan keduanya telah memberikan konstribusi berharga. Ada beberapa wilayah permasalahan, yang kiranya lebih baik diteliti oleh ahli-ahli sosiologi. Tetapi ada juga wilayah permasalahan lainnya yang lebih baik ditangani oleh ahli pendidikan atau tenaga kependidikan. Yang terpenting, pada keadaan dan tingkat manapun, hendaknya semua upaya penelitian dilakukan secara terarah dan terkendali, dan dengan menggunakan metodologi yang ampuh.
Keseluruhan yang ditelaah sosiologi pendidikan hanya satu, dimana ahli sosiologi dan ahli pendidikan bisa bekerjasama secara ramah yang sudah mereka lakukan. Dalam hubungan ini, selaku orang yang memperoleh pengalaman pendidikan, baik tentang sosiologi maupun ilmu pendidikan, Dr. D.F. Swift menyatakan demikian erkembangan sesuatu disiplin ilmu (begitu pula kegunaannya bagi masyarakat) berlangsung mengikuti hubungan saling rangsang antara teori yang ada dengan upaya pengumpulan informasi. Keberartiannya masing-masing sama-sama, bergantung antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada artinya membedakan latar belakang motivasi diantara penelitian-penelitian yang dilakukan. Yang menjadi masalah adalah kemampuan teori yang melandasi informasi-informasi yang mau dicari, dan kejituan metoda yang digunakan dalam pengumpulan informasi. Karenanya, sosiologi dan pendidikan, dalam banyak hal saling membantu antara satu dengan yang lainnya.
Pada mulanya, memang ada kecenderungan pada Jurusan Pendidikan diberbagai perguruan tinggi menggunakan istilah “Educational Sociology” sedangkan belakangan ini lebih suka menggunakan istilah “Sociology of Education”. Disarankan oleh Prof . W. Taylor untuk tetap menggunakan kedua istilah tersebut, tetapi dengan pengertian yang sedikit berbeda antara satu dan lainnya. Menurut Taylor,”Educational Sociology,” tekanannya terletak pada pertanyaan-pertanyaan kependidikan dan sosial. Sedangkan “Sociology of Education,” tekanannya pada permasalahan-permasalahan sosiologis. Pembedaanya mirip dengan apa yang dinyatakan oleh R.J. Stalcup didalam bukunya” Sociology and Education,” dimana ia juga menggunakan istilah “ The Social Fondations of Education.” Definisi Stalcup mengenai ketiga istilah dimaksud sebagaimana berikut ini:
v Educational Sociology : merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan sosiologi bagi pengadministrasian dan atau proses pendidikan. Pendekatan ini berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosiologi pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial tersendiri.
v Sociology of Education : Merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahannya pada lembaga pendidikan itu sendiri.
v Social Fondations of Education: Merupakan suatu bidang telaahan yang lazimnya mencakup sejarah, filsafat, sosiologi pendidikan, dan pendidikan komparasi. Jelas bidang ini lebih luas baik dari “Sociology of Education” maupun “Educational Sociology.“
Dalam bukunya “Educational Sociology,” G.E, Jensen juga membahas perbedaan antara kedua istilah tadi. Menurut Jensen, problematika yang ditelaah oleh “Educational Sociology” diangkat dari bidang pendidikan. Sedangkan problematikanya “Sociology of Educational” diangkat dari bidang sosiologi. Jensen juga berpendapat, bahwa sosiologi merupakan suatu bidang telaahan praktis, memperhatikan segi-segi sosiologis maupun sosial psikologis yang relevan atau berkaitan secara logis dengan permasalahan-permasalahan pendidikan. Dalam hubungan ini “Sociology of Education,” perhatian utamanya pada upaya menemukan aspek-aspek sosiologis dari fenomena dan institusi pendidikan. Masalah-masalah tersebut dikaji dan dipandangnya sebagai masalah essensial sosiologi, dan bukan merupakan masalah praktis pendidikan.
Perkembangan umumnya sekarang ini, kedua istilah yang diperdebatkan tadi, sama-sama memantapkan adanya satu disiplin ilmu yaitu sosiologi pendidikan itu sendiri. Istilah yang digunakan ialah “sociology of Education”. Sebagaimana dikatakan Dr. Olive Banks: sekarang menjadi lazim untuk menyebutkan “Sociology of Education” daripada memakai terminology lamanya yaitu “Educational Sociology”. Secara keseluruhan, perkembangan tersebut, juga dikarenakan para ahli sosiologi itu sendiri yang sudah mulai menaruh perhatian terhadap dunia pendidikan sebagai suatu garapan telaahannya.
Seterusnya, Dr. Banks menyarankan disiplin ilmu ini sebagi cabang sosiologi dan bukan cabang dari ilmu pendidikan. Masa depan disiplin ilmu ini, menurut para penulis belakangan ini, akan banyak bergantung pada keeratan kerja sama antara ahli sosiologi didalam aktifitas atau penanganan pendidikan, (denagn pengalaman praktis didepan kelas atau pada segi-segi lain penyelenggaraan system pendidikan). Sementara ahli-ahli pendidikan yang tertarik pada pendekatan sosiologis, misalnya diberikan latihan-latihan dasar mengenai disiplin ilmu sosiologi itu sendiri. Hal tersebut pada kenyataannya sudah terjadi. Sebab beberapa dosen dan guru besar sosiologi sudah mulai ikut selaku asisten dalam perkuliahan kependidikan, sementara beberapa ahli pendidikan juga sudah mulai mengembangkan kariernya selaku ahli sosiologi yang berbobot.
Mobilitas professional semacam itu, dan penyuburan silang yang semakin dibutuhkan oleh kedua pihak (ahli sosiologi dan ahli pendidikan) kesemuanya itu untuk kebaikan disiplin sosiologi dan pendidikan itu sendiri. Dalam hubungan ini patut diingat kata-kata Prof. Stewart yaitu “Kalau ada suatu telaahan yang inter-disipliner, maka itulah pendidikan. “Dengan begitu, sosiologi pendidikan bukan lagi “milik pribadi” sosiologi itu sendiri, dan sama pula halnya dengan filsafat pendidikan, atau psikologi pendidikan.
Demikian juga, dalam dunia akademik belakangan ini, memang semakin banyak kita hadapkan pada penelaahan yang inter-disipliner. Begitu muncul pertanyaan mengenai “hak paten” disiplin keilmuwan, berarti kita kembali lagi ke tempat start (melakukan pengepingan-pengepingan baik terhadap ilmu maupun tugas penelitian). Bagi para pemain sepak bola, mungkin pantas menyerahkan bulat-bulat “sosiologi persepakbolaan” kepada ahli-ahli sosiologi. Para pecandu judi, juga sebaiknya mempasrahkan “sosiologi perjudian” kepada ahli-ahli sosiologi itu sendiri. Orang-orang kampong dipedesaan tidak memperdebatkan “hak paten” kewenangan ahli-ahli sosiologi didalam telaahan “sosiologi desa”. Tetapi didalam hal sosiologi pendidikan, sama-sama menjadi perhatian telaahannya, baik oleh ahli pendidikan maupun ahli sosiologi.
Sosiologi pendidikan merupakan suatu disiplin yang menjadi perhatian, baik ahli sosiologi maupun ahli pendidikan, dan keduanya telah memberikan konstribusi berharga. Ada beberapa wilayah permasalahan, yang kiranya lebih baik diteliti oleh ahli-ahli sosiologi. Tetapi ada juga wilayah permasalahan lainnya yang lebih baik ditangani oleh ahli pendidikan atau tenaga kependidikan. Yang terpenting, pada keadaan dan tingkat manapun, hendaknya semua upaya penelitian dilakukan secara terarah dan terkendali, dan dengan menggunakan metodologi yang ampuh.
Keseluruhan yang ditelaah sosiologi pendidikan hanya satu, dimana ahli sosiologi dan ahli pendidikan bisa bekerjasama secara ramah yang sudah mereka lakukan. Dalam hubungan ini, selaku orang yang memperoleh pengalaman pendidikan, baik tentang sosiologi maupun ilmu pendidikan, Dr. D.F. Swift menyatakan demikian erkembangan sesuatu disiplin ilmu (begitu pula kegunaannya bagi masyarakat) berlangsung mengikuti hubungan saling rangsang antara teori yang ada dengan upaya pengumpulan informasi. Keberartiannya masing-masing sama-sama, bergantung antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada artinya membedakan latar belakang motivasi diantara penelitian-penelitian yang dilakukan. Yang menjadi masalah adalah kemampuan teori yang melandasi informasi-informasi yang mau dicari, dan kejituan metoda yang digunakan dalam pengumpulan informasi. Karenanya, sosiologi dan pendidikan, dalam banyak hal saling membantu antara satu dengan yang lainnya.
C. KESIMPULAN
Sosiologi pendidikan merupakan suatu disiplin yang menjadi perhatian, baik ahli sosiologi maupun ahli pendidikan, dan keduanya telah memberikan konstribusi berharga. Prof. Stewart juga mengemukan tentang masalah dalam sosiologi pendidikan mengenai mata kuliah guru, seperti juga disarankan oleh Mannheim, ada tiga mata kuliah (mata ajaran) untuk dikuliahkan pada lembaga pendidikan guru, diantaranya: Sosiologi mengajar, Sosiologi Pendidikan, Sosiologi untuk guru. Dan ketiganya akan memperluas pendidikan guru dalam sosiologi pendidikan. Dalam bukunya Jehsen, perkembangan sosiologi pendidikan, ialah memperdebatkan kedua istilah antara “Educational Sosiologi dan Sociology Education” yang sama-sama memantapkan adanya satu disiplin ilmu yaitu sosiologi pendidikan itu sendiri. Jensen juga berpendapat, bahwa sosiologi merupakan suatu bidang telaahan praktis, memperhatikan segi-segi sosiologis maupun sosial psikologis yang relevan atau berkaitan secara logis dengan permasalahan-permasalahan pendidikan.
Sosiologi pendidikan merupakan suatu disiplin yang menjadi perhatian, baik ahli sosiologi maupun ahli pendidikan, dan keduanya telah memberikan konstribusi berharga. Prof. Stewart juga mengemukan tentang masalah dalam sosiologi pendidikan mengenai mata kuliah guru, seperti juga disarankan oleh Mannheim, ada tiga mata kuliah (mata ajaran) untuk dikuliahkan pada lembaga pendidikan guru, diantaranya: Sosiologi mengajar, Sosiologi Pendidikan, Sosiologi untuk guru. Dan ketiganya akan memperluas pendidikan guru dalam sosiologi pendidikan. Dalam bukunya Jehsen, perkembangan sosiologi pendidikan, ialah memperdebatkan kedua istilah antara “Educational Sosiologi dan Sociology Education” yang sama-sama memantapkan adanya satu disiplin ilmu yaitu sosiologi pendidikan itu sendiri. Jensen juga berpendapat, bahwa sosiologi merupakan suatu bidang telaahan praktis, memperhatikan segi-segi sosiologis maupun sosial psikologis yang relevan atau berkaitan secara logis dengan permasalahan-permasalahan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar